Kenangan Yang Tertunda

Kami bukanlah sahabat yang baik. Saling ejek dan merendahkan satu sama lain bila bertemu merupakan makanan harian. Namun tak ada luka diantara ikatan tanpa perjanjian itu.

Ia bukanlah orang baik, bagaikan malaikat. Aku paham. Berbagai obat-obatan terlarang dan narkoba selalu mengelilinginya. Aku tidak pernah tahu apakah ia terlibat atau tidak. Tapi jelas belum pernah melihatnya memakai satupun barang haram tersebut, walau hanya segelas bir dingin.

Aku harus mencari kader di kampus yang akanditinggalkan. Cita-cita menjadikan warga kampus ini berarti membuatku harus mencarikan pengganti yang gila alamamater juga. Ia merupakan salah satunya.

“Awak tidak bisa mengajak kawan da,” ucapnya ketika beberapa kali mengikuti ospek. Anak ini kupikir menarik. Selalu hadir walaupun kawan-kawannya sedikit datang. Setia kawannya juga tinggi,kupikir.

Cita-cita selalu kugambarkan dalam perbincangan dengan Rajied. Ia paham!. “Harus seperti itu da,” katanya tegas ketika menerima ideku.

Hari berganti tahun telah berubah. Ternyata umurnya tidak jauh berbeda. Kami akhirnya sekedar memanggil nama atau saling memanggil uda.

“Aden panik kini da benk. Adiak-adiak indak namuah diasuah,” terangnya menyebutkan kondisi kampus terbaru ketika ku pulang penelitian dari Pasaman.

Aku harus turun langsung. Walaupun keterbatasan waktu memaksa ku menghindar dari kesibukan kampus. “Pandai-pandai jo adiak-adiak Jied.

Kalau ang anggap lawan jadilah inyo lawan. Kalau dianggap orang bisa diasuah. Mereka pasti bisa diasuah. Tentu indak saratus persen seperti yang diharapkan, tapi nanti pasti labiah,’ terangku waktu itu menyemangatinya.

Ia semakin tenggelam dengan kesibukan kegiatan mahasiswa di kampus. Tidak kentara memang, tapi yang jelas Rajied ingin melebihi pamor ku di kampus.

Semua kegiatan diikutinya. Naik gunung, main musik, ngumpul tiap malam dilaboratorium, hingga mengerakan massa. Termasuk menjadi pemusik, di festival musik rock kebanggaan kami, Jamsika. Hanya satu ia lupa, statusnya masih mahasiswa, sama seperti kami dulu.

“Aden lah tamat tapi 6 tahun, kalau hebat ang bisa samo se jadinyo dipanggia uda. Kalau lebih dari 6 tahun den cimeehan taruih. Waang lai di kampus, nanti kalau sempat den caliak taruih,” pesan ku ketika wisuda.

Namun apa kenyataan yang kutemui.Rajied semakin mengghilang. Hampir satu tahun ku ingin bertemu.Rici, teman dekatnya juga resah. “Ndak namuah di kecekannyo da. Awak lah bantu bahan-bahan kuliah tapinyo maleh. Antah apo penyebanyo,” sebut Rici ketika bertemu di luar kampus.

Beberapa kali, melalui kawan, sms, telfon bahkan mengunjungi Rajied ke kantor tempat bekerja mengundang datang ke tempat kami beraktivitas dulu. Kampus tercinta. Semuanya ditolak. “Aden datang bilo waang wisuda sajo lah,”.

“Benk Rajied maningga,” tertulis di pesan singkat di handphone. Nomor hp nya tidak kukenali.

Aku linglung. Kopi pagi kuhirup tenang. Aku butuh waktu untuk memastikannya. “Sia ko. Maningga dek a?. Jan bagarah ang sia ko,” nomor yang masuk ku telphon .

“Aden kawan ang. Namo den Em, ndak ang simpan nomor den,’ tuturnya. Jelas itu M Najri Janra. Kawan satu lettingg telah menjadi dosen satu tahun lalu.

Berusaha tetap santai, aku minum kopi lagi. Tapi rasanya pahit. Terbayang itu hanya canda lama Rajied untuk membuatku datang ke kampus lagi. Kami telah hampir satu tahun tidak lagi saling memberi informasi.

Sosok mayat. Luka menganga di kepala. Membuatku terpana. Benar! Rajied tewas di lantai tanah. Bekas jahitan di tanganya masih terlihat jelas.

Beberapa teman sepermainnya menangis terisak-isak, ketika ku datang melihat kejadian sebenarnya. Rici tertunduk lesu, menatapku kosong seraya ingin mengatakan sesuatu tapi entah apa.

Terbayang. Ketika Rajied patah tulang tangan, beberapa tahun sebelum Tuhan mengakhiri takdirnya. Aku lihat dia selalu nyengir kesakitan di Rumah Sakit. Kadang nekat, ia keluar bila diajak merokok, senyumnya kembali melebar.

“Rokok urang gaek tu ang agiahan ka aden. Balian den sampoerna pitih habis ko ha,” jawabnya bercanda ketika diberikan rokok GP. Itu bukan hanya satu kali, beberapa kali ia kecelakaan dan patah-patah.

Tapi sekarang, dia tidak sedang bercanda.Tidak kesakitan. Hanya diam. Bajunya planel biru, baju kesukaan kami, handphonenya sony ericson milikku yang dibelinya, sepatu dan celananya sangat ku kenal.

Hanya satu rajied menyimpan cincin dan flasdisk. Mungkin ia telah berubah. Rajied dulu memang tidak begitu mudah jatuh cinta pada wanita, atau setidaknya belum terlalu mencintai wanita ku ingat. Kecuali ia sangat cinta kampus dan almamaternya.

Rajied dibawa ke kamar mayat. Tubuhnya sangatlah dingin. Polisi seakan tidak memperdulikan tubuhnya. Mendorong Masuk ke dalam bunker. Selamat jalan kawan. Mungkin hidup ini terus berlanjut, tanpa kawan!!!!.

(Mengenang Rajied-September2006)

Leave a comment